Senin, 21 Maret 2011

ILMU PENDIDIKAN ISLAM : Pendidikan Islam Masa Orde Lama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Eksistensi pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka, pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan pada masa orde lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan 1965 diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu system pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah sejarah mencatat bagaimana pemerintah orde lama memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Makalah ini dengan segala kekurangannya, dimaksudkaan untuk memaparkan sejauh mana perkembangan pendidikan Islam pada masa orde lama.[1]

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pendidikan Islam masa orde lama (1945-1965) ?
  2. Apa saja kebijakan yang ditetapkan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pendidikan Islam ?
  3. Bagaimana pembentukan UU pokok pendidikan dan pengajaran ?
  4. Bagaimana pengembangan dan pembinaan madrasah zaman orde lama ?
  5. Bagaimana pendidikan agama Islam di sekolah umum zaman orde lama ?
  6. Apa saja lembaga  pendidikan Islam zaman orde lama ?

C.    Tujuan Makalah
  1. Untuk mengetahui pendidikan Islam masa orde lama.
  2. Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pendidikan Islam.
  3. Untuk mengetahui pembentukan UU pokok pendidikan dan pengajaran.
  4. Untuk mengetahui pengembangan dan pembinaan madrasah zaman orde lama.
  5. Untuk mengetahui pendidikan agama Islam di sekolah umum zaman orde lama.
  6. Untuk mengetahui lembaga pendidikan Islam zaman orde lama.





















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Islam Masa Orde Lama
Penyelenggara pendidikan agama setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 desember 1945 menyebutkan bahwa: “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan bantuan material dari pemerintah.”[2]
Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit. Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1.      Sikap dan kebijaksanaan pemerintah colonial Belanda yang sangat diskriminatif terhadap kaum muslimin.
2.      Politik nonkooperatif  para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegang teguh pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Yang artinya, “Barang siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu.” Hadis tersebut melandasi sikap para ulama pada waktu itu[3].
Akan tetapi, keadaan berubah secara radikal setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia, seakan-akan merupakan ganjaran bagi para ulama atau yang dijiwai oleh keislaman, yaitu kemerdekaan membuahkan sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya bagi kaum muslimin, terutama di bidang pendidikan modern. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan yang berkepanjangan, terutama melalui berbagai organisasi pergerakan, baik social, agama maupun politik. Oleh karena itu, wujud kemerdekaan adalah cermin, cita-cita perjuangan bersama dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, bentuk system dan tata cara pemerintahan disusun atas dasar cita-cita dan kehendak bangsa Indonesia. Dasar Negara yang telah disepakati bersama saat mendirikan Negara adalah Pancasila, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 inilah yang kemudian dijadikan titik tolak pengelolaan Negara dalam membangun bangsa Indonesia.[4]
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi visik. Pemerintah Indonesia sudah bebenah terutama memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementrian PP dan K tersebut, maka diadakanlah berbagai usaha terutama system pendidikan dan menyelesaikannya dengan keadaan yang baru.
Kementrian PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya memerintahkan pada semua kepala-kepala sekolah dan guru-guru, yaitu:
1.      Mengibarkan Sang Merah Putih tiap-tiap di halaman sekolah.
2.      Melagukan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
3.      Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo yang merupakan lagu kebangsaan Jepang.
4.      Menghapuskan pelajaran Bahasa jepang, serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah Bala Tentara Jepang.
5.      Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-muridnya.
Tindakan pertama yang diambil pemerintah Indonesia ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntunan dan aspirasi rakyat, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31 yang berbunyi :
1.      Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
2.      Pemerintah mengusahakan suatu system pengajaran nasoinal yang diatur dengan undang-undang.
Pada periode Orde Lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, yaitu:
1.      Dari tahun 1945-1950 Landasan Idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
2.      Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) di Negara bagian timur dianut suatu system pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
3.      Pada tanggal 17Agustus 1950, dengan terbentuknyakembali Negara Kesatuan RI, Landasan Idiil UUDS RI.
4.      Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan Manifesta Politik RI menjadi Haluan Negara. Dibidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Pancawhardana.
5.      Pada tahun dan UUD 1945 secara murni  dan konsekuen.[5]

B.     Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam.
Pada tanggal 17-8-1945 Indonesia merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda / Sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
2.      Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
3.      Musuh-musih RI (Belanda / sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
4.      Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut:
1.      Para ulama santri-santri dapat mempraktikan ajaran fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok atau madrasah.
2.      Pertanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesame manusia dan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI.pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama  mualai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut amengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pilih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:
1.      Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.
2.      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya, di Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
3.      Disekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4.      Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.
5.      Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Dalam siding pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II Pasal 2 ayat 1)”. Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai Universitas,” dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/ murid dewasa menyatakan keberatannya.
   Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai  Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia. 

C.    Pembentukan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran.
Menjelang lahirnya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran (1946) melapor kepada menteri PP dan K (Mr. soewandi) untuk membentuk Panitia Penyelidik Pendididikan dan Pengajaran yang diketuai K.H. Dewantara. Mereka diberi tugas untuk meninjau kembali dasar-dasar isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran. Laporan panitia tersebut tadak dapat disiarkan secara luas karena adanya serbuan tentara Belanda, maka secara diam-diam mereka mengadakan:


1.      Kongres Pendidikan di Solo (1947)
Tanggal 4 sampai 7 maret 1947 di Solo diadakan Kongres Pendidikan Indonesia, di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kalapaking. Tujuannya ialah meninjau kembali berbagai masalah pendidikan dan pengajaran. Kongres ini mendapat perhatian besar dari para cendekiawan.
Pada tahun 1948 Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) membentuk panitia pe,bentukan Rencana Undang-Undang pokok Pendidikan dan Pengajaran. Panitia itu diketuai oleh K.H. Dewantara yang ditugaskan untuk menyusun rencana UUPP di sekolah. Panitia bekerja dengan memperhatikan hasil pekerjaan panitia terdahulu dan hasil kongres pendidikan di Solo.
2.      Kongres Pendidikan di Yogyakarta (1949)
Pada tanggal 24 juli 1949 di bawah pimpinan K.H. Dewantara dan sekretarisnya S. Brodjonegoro dilangsungkan kongres pendidikan di Yogyakarta. Menteri PP dan K (Ki. S. Mangunsarkoro) mengharapkan agar kongres ini dapat menghasilkan bahan-bahan bermanfaat yang dapat dipergunakan untuk menyusun UUPP, yang sesuai dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Maka dengan kerja keras para panitia penyelidik pendidikan pengajaran dicetuskan UU tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia (1950).
Setelah panitia bekerja dengan giat, rencana Undand-Undand dapat diselesaikan dan diajukan kepada BP. KNIP dan dengan suara terbanyak diterimalah rencana Undang-Undang itu. Setelah disahkan oleh Acting President Mr. Asaat di yogyakarta dan Menteri PP dan K, maka RUU itu diresmikan menjadi UU No.4 tahun 1950 dengan nama UU tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah (UUPP). Untuk sementara UUPP hanya berlaku di daerah Yogyakarta. Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, maka UUPP diterima oleh DPR pada tanggal 27 januari 1954, dan diberlakukan pada tanggal 18 maret 1954. Kini UUPP menjelma menjadi UU No.12 tahun 1954 tentang Pernyataan berlakunya UU No.4 tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk Indonesia. UUPP tersebut seluruhnya terdiri dari 17 Bab dan 30 pasal.
UU tersebut belum sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangannya. Masih terlampau ringkas dan singkat, untuk menyempurnakannya dibentuk suatu komisi, yang diketahui oleh Katopo. Komisi ini ternyata tidak dapat memberikan hasil usahanya yang kongkret.[6]

D.    Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Zaman Orde Lama.
Mempelajari perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah
Madarasah sebagai penyelenggara pendidikan di akui secara formal pada tahun 1950.UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa “belajar di sekolah agama telah mendapat pengakuan dari Departemen agama dan sudah di anggap memenuhi kewajiban belajar”. Untuk mendapat pengakuan dari departemen agama,madarasah harus memberikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling tidak 6 jam dalam seminggu.
Jenjang pendidikan dalam system madarasah terdiri dari 3 jenjang yaitu    yang pertama Madarasah ibtidaiyah yang di setarakan dengan  sekolah dasar (SD) dengan lama pendidikan 6 tahun,yang ke dua Madarasah Tsanawiyah pertama (MTs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama(SMP) dengan lama 4 tahun. Dan ke tiga Madarasah Tsanawiyah Atas atau Madarasah Aliyah (MA) yang setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan lama 4 tahun. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madarasah tidak hanya mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat pada madarasah yaitu pelajaran umum tidak akan mencapai tingkat yang sama bila di bandingkan dengan pendidikan umum
Perkembangan madarasah pada Orde Lama adalah berdirinya madarasah Pendidikan Guru Agama (PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama di wilayah Minangkabau dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional yang siap untuk mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang proposional
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departement Agama yang di tangani oleh Drs.Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan.Pada tahun 1950 bagian tersebut membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah professional keguruan:(1) Sekolah Guru Agama Islam(SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua jenjang yaitu:(a).jangka panjang yang di tempuh salama 5 tahun untuk siswa tamatan SR/MI dan (b).jenjang jangka pendek yang di tempuh selama 2 tahun untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan  SGHAI di tempuh selama 4 tahun untuk lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu:
1.      Bagian “a” untuk mencetak guru kesustraan
2.      Bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
3.      Bagian “c” untuk mencetak guru agama
4.      Bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama
Pada tahun 1951 sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari 1951, ke dua madrasah tersebut di ubah namanya SGAI menjadi “PGA (Pendidikan Guru Agama)” dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama).
Pada masa H.M. Arifin Tam yang menjadi kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan pengembanagan dari bagian pendidikan di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA di ubah.PGA yang 5 tahun menjadi 6 tahun,terdiri dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun. Sedangkan PGA jangka pendek dan SGHA di hapuskan. Sebagai pengganti SGHA bagian “d”didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dengan lama 3 tahun untuk PGA pertama.
Sedangkan Perguruan tinggi Islam khusus fakultas-fakultas  mulai mendapat perhatian pada tanggal 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII di pisahkan dan di ambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi di buka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) di bawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957 ,di Jakarta di dirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (Kementrian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.[7]

E.     Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Zaman Orde Lama.
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkankan dalam UU Pendidikan tahun 1950 No.4 dan UU Pendidikan tahun 1954 No.20 yang berbunyi:
1.  Pada sekolah-sekolah negeri di selenggarakan pelajaran agama. Dan orang tua murid  berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tesebut atau   tidak
2.  Cara menyelenggarakan PA di sekolah-sekolah negeri di atur melalui menteri pendidikan,pengajaran dan kebudayaan (PPK) bersama menteri agama
Pada tahun 1960 sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama diselenggarakan di Perguruan Tinggi Umum dan memberikan kebebasn kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (pada awal orde baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam system penilaian.

F.     Lembaga Pendidikan Islam Zaman Orde Lama.
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instransional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab tehadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam yang berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta.
Pendidikan agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P dan K. sebagai tindak lanjutnya ialah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum n



[1] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html
[2] H.A Timur Djaelani, Op. cit., h.71.
[3] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-orde.html
[4] Mustafa dan Abdullah. 1997. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. CV Pustaka Setia. Bandung. Hal. 128-129
[5] Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana. Bandung. Hal. 346-347
[6] Mustafa dan Abdullah. 1997. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. CV Pustaka Setia. Bandung. Hal. 112-114.
[7] http://haanadza.blogspot.com/2008/03/pendidikan-islam-pada-masa-orde-lama.html

4 komentar: